PT KP Press - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.05/2020 tentang Besaran Komponen dan Pertanggungjawaban Biaya Pelaksanaan Perjalanan Dinas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia baru-baru ini.
Beleid itu sejatinya memang bukan soal penghematan perjalanan dinas bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Namun, aturan tersebut tetap menerapkan prinsip penyusunan anggaran tetap ditekankan pada penggunaan uang negara yang selektif, efisien, dan efektif. Selain itu, juga harus menyesuaikan ketersediaan anggaran dan memberikan akuntabilitas. Kebetulan, aturan itu keluar di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Bila ditarik, itu bisa sejalan dengan kebijakan penghematan anggaran dinas yang sebelumnya dilakukan pemerintah untuk menangani virus corona. Dengan begitu, mau tidak mau ada banyak pos pengeluaran yang harus dihemat agar dananya bisa dialihkan ke pos corona. Hal ini pun diwujudkan Sri Mulyani dengan memangkas anggaran perjalanan dinas semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) di semua golongan. Hasilnya, pagu belanja pegawai yang semula bernilai Rp416,2 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, kini terpangkas sekitar 37,51 persen menjadi Rp260,08 triliun. Begitu pula dengan pos-pos anggaran lain. Misalnya, belanja barang yang turun 15,58 persen dari Rp337,02 triliun menjadi Rp284,48 triliun. Baca Juga : Bitcoin 'Bikin Sakit', Lebih Baik Pilih Emas Lalu, belanja modal susut 20,34 persen dari Rp209,54 triliun menjadi Rp166,91 triliun. Pos lain yang juga terpangkas anggarannya, yakni subsidi turun 16,16 persen dari Rp187,61 triliun menjadi Rp157,29 triliun. Anggaran itu kemudian disalurkan ke pos lain, yaitu bantuan sosial (bansos) naik 16,07 persen dari Rp107,74 triliun menjadi Rp125,06 triliun dan pembayaran bunga utang meningkat 13,56 persen dari Rp295,21 triliun menjadi Rp335,16 triliun. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai pandemi corona yang terjadi saat ini memang seolah memberikan penyadaran bagi pemerintah bahwa banyak nominal perjalanan dinas yang seharusnya sudah diefisienkan dari sebelum wabah berlangsung. Artinya, ada atau tidak ada corona, efisiensi perjalanan dinas memang harus dilakukan. "Corona jadi momentum percepatan efisiensi, tanpa corona biasanya dinas yang seharusnya memang dihemat sekitar 10 persen, kini justru meningkat besar jadi 30 persen. Corona juga jadi pelajaran bahwa rapat di daerah sebenarnya bisa dilakukan virtual dengan bantuan teknologi," ujar Telisa kepada CNNIndonesia.com, Senin (22/6). Apalagi, sambungnya, anggaran dinas dengan rapat ke daerah memang tidak bisa dilakukan di era pandemi corona. Pasalnya, corona tidak memungkinkan kerumunan orang di suatu titik. Selain itu, perjalanan dinas justru bakal jadi pengeluaran yang mahal di tengah pandemi. Sebab, ada sejumlah dokumen yang harus disiapkan dan merogoh kocek, misalnya hasil pemeriksaan kesehatan dengan PCR atau rapid test. Masalahnya, menurut Telisa, penghematan besar-besaran anggaran perjalanan dinas pemerintah sejatinya hanya bisa dilakukan di era corona. Sebab, ketika corona sudah benar-benar hilang, anggaran pos ini justru perlu tetap diberi ruang. Pertimbangannya tak lepas dari faktor daya ungkit. Saat ini, penghematan anggaran perjalanan dinas memang menjadi daya ungkit perekonomian karena anggaran pemerintah tetap cukup deras tersedot untuk pos penanganan dampak pandemi corona. Namun, nantinya, APBN tetap perlu menjadi daya ungkit bagi perekonomian daerah. Sebab pengeluaran perjalanan dinas suka tidak suka memberi dampak ke sektor penerbangan dan perekonomian daerah, mulai dari hotel, restoran, destinasi, hingga pengusaha oleh-oleh. Maka tak heran, dampak pengurangan perjalanan dinas sudah tercermin pada perekonomian kuartal I 2020. Pada kurun waktu itu, belanja pemerintah secara total hanya tumbuh 3,74 persen dari sebelumnya bisa mencapai 5,22 persen pada kuartal I 2019. Alhasil, laju perekonomian secara keseluruhan hanya 2,97 persen pada periode itu. "Jadi ke depan tetap perlu selektif menggunakan anggaran perjalanan dinas karena di sisi lain ada trade off antara kebutuhan efisiensi dan multiplayer effect dari anggaran itu ke perekonomian daerah," jelasnya. Hal ini, sambung Telisa, juga suka tidak suka harus dilakukan karena pemerintah sampai saat ini belum bisa memungut pajak digital dari para perusahaan teknologi yang konsumsi layanannya berkembang pesat di era corona karena pemainnya didominasi oleh asing, misalnya Zoom, Netflix, dan lainnya. "Hal ini membuat dampak ke perekonomian sebenarnya jauh lebih dinikmati bila ada perjalanan dinas karena langsung sampai ke ekonomi daerah dan mereka bayar pajak ke pemerintah lagi. Sementara shifting ekonomi ke sektor jasa telekomunikasi dan digital saat ini belum maksimal pungutan pajaknya," terangnya. Lebih lanjut, menurut Telisa, bila pemerintah ingin memaksimalkan efisiensi anggaran perjalanan dinas, maka perlu dipastikan pula anggaran di pos lain efektif. Salah satu yang ia soroti, anggaran subsidi. Menurutnya, anggaran subsidi banyak yang sudah tidak tepat sasaran dan karena itu perlu diturunkan. Selain itu ada juga belanja modal. Menurutnya, masih ada belanja modal yang digelembungkan atau mark up dan bisa diefisienkan. "Kalau belanja barang mungkin potensi mark up-nya kecil, tapi belanja modal besar karena skala nilainya juga lebih tinggi. Jadi harus diawasi lebih ketat," katanya. Di sisi lain, sebaik-baiknya sebuah penghematan, tentu harus pula dibarengi dengan optimalisasi dari sisi penerimaan. Maka dari itu, Telisa mengingatkan agar pemerintah juga berusaha keras untuk meningkatkan basis pembayar pajak di Indonesia dan sumber-sumber penerimaan lain yang potensial seperti pajak digital tadi. "Tax ratio Indonesia stagnan terus di kisaran 10-11 persen dalam beberapa tahun terakhir, padahal trennya memang belanja akan semakin meningkat ke depan, tapi penerimaan harus bisa terus optimal," tuturnya. Senada, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad melihat anggaran perjalanan dinas memang mau tidak mau harus dilakukan di era pandemi dan dialihkan ke pos lain yang daya ungkitnya lebih besar. Saat ini, daya ungkit yang cukup besar ada di anggaran bansos karena langsung menyasar ke 'perut' masyarakat. "Anggaran perjalanan dinas memang langsung menyasar konsumsi pegawai, tapi jumlah pegawai negara hanya sekitar 4,1-4,2 juta, tentu tidak sebanding dengan konsumsi puluhan juta masyarakat dekat dengan kemiskinan dan perlu dibantu bansos dampak perbaikan ekonominya," pungkas Tauhid. Comments are closed.
|
About Us
Archives
February 2022
|